- 12 Desember 2025
- No Comment
- 44
Biar Pecah di Perut, Asal Jangan Pecah di Mulut
Petuah Betawi yang Menjaga Marwah
“Biar pecah di perut, asal jangan pecah di mulut” adalah petuah para tetua Betawi yang sarat hikmah. Sebuah siloka yang halus namun keras maknanya; lembut namun tegas adabnya. Ia mengajari kita bahwa kehormatan keluarga dijaga dengan menahan lidah, menutup aib, dan menyelesaikan persoalan di dalam rumah tanpa menyerakkannya ke hadapan orang luar.
Dalam tradisi Betawi, keluarga ibarat kembang di halaman sendiri—harumnya harus dijaga, lukanya harus dirawat, bukan diumbar. Sebab ketika persoalan dibawa keluar rumah, bukan solusi yang datang, melainkan telunjuk, sangkaan, dan fitnah yang menambah beban.
Petuah ini tidak sekadar kearifan lokal, tetapi sejalan dengan ajaran Rasulullah ﷺ, yang menekankan pentingnya menutup aib.
Hadis Nabi ﷺ
“Barang siapa menutup aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.”
(HR. Muslim)
Dalam keluarga, lebih-lebih lagi. Bila ada retak kecil, tutupilah dengan kasih; bila ada salah, luruskan dengan lapang dada. Sebab, sebagaimana pepatah mengatakan:
“Tak ada gading yang tak retak.”
Kesempurnaan hanya milik Allah, sementara manusia adalah tempat salah dan lupa.
Menyelesaikan Urusan di Dalam Rumah
Orang Betawi memberi pesan yang sederhana,
“Urusan dapur jangan diumbar.”
Selesaikan persoalan keluarga dengan kepala dingin, tanpa membuka celah bagi orang luar untuk menilai, mengomentari, atau memperkeruh suasana.
Allah Ta’ala berfirman:
Al-Qur’an – An-Nisa: 114
لا خير في كثيرٍ من نجواهم إلا…
إلا من أمر بصدقة أو معروف أو إصلاحٍ بين الناس
“Tidak ada kebaikan pada banyak bisik-bisikan manusia, kecuali pada orang yang mengajak kepada kebaikan… atau mendamaikan manusia.”
Jika mendamaikan sesama saja diperintahkan, maka lebih utama memperbaiki dalam keluarga sendiri sebelum meminta campur luar.
Saling Menasihati, Bukan Menjatuhkan
Rumah tangga yang kokoh bukan yang tanpa badai, tetapi yang dapat menahan ombak tanpa karam. Bila satu tergelincir, yang lain menguatkan, bukan mengadukan; bila terjadi salah paham, selesaikan dengan musyawarah, bukan mengadu-domba.
Ini sejalan dengan sabda Nabi ﷺ:
Hadis
“Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya.”
(HR. Abu Dawud)
Cermin tidak membeberkan aib ke orang lain—ia memantulkan, bukan mempublikasikan.
Nasihat Ulama: Al-Hikam, Ihya’, dan Para Masyayikh
Ibn ‘Athaillah as-Sakandari – Al-Hikam
“Sembunyikanlah kehinaan saudaramu sebagaimana engkau menyembunyikan kehinaan dirimu.”
Inilah persis makna pecah di perut—retaknya disimpan demi menutup martabat keluarga.
Imam Al-Ghazali – Ihya’ Ulumiddin
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa membuka aib orang lain—terutama keluarga—termasuk ghibah yang paling tercela, sebab ia merobek kehormatan dan persaudaraan.
Ibn Hajar Al-‘Asqalani – Fathul Bari
Dalam penjelasannya tentang hadis “menutup aib,” Ibn Hajar menegaskan bahwa menyebarkan aib hanya menambah kerusakan, sedangkan menutupnya adalah akhlak para salihin.
Penutup – Kearifan yang Menjaga Rumah
Petuah Betawi ini adalah benteng kehormatan, agar rumah tangga tetap hangat sekalipun di dalamnya kadang ada bara kecil. Sebab :
Cerita yang baik disebarkan sebagai rasa syukur,
Cerita yang kurang baik dievaluasi sebagai pelajaran. Bukan diumbar, bukan disebarkan—sebab marwah keluarga lebih mahal daripada sekadar benar atau salah.
Semoga setiap rumah diberi Allah ketenangan, kelapangan dada, dan kekuatan untuk saling menjaga satu sama lain.
Amin.
[ Ahmad Basuni ]
#Langgar Aksara Syekh Junaid Albatawi
